Ada korelasi menarik antara agama dan lingkungan. Agama sebagai relasi antara umat dengan Tuhan, seyogyanya memiliki pengaruh yang besar untuk merealisasikan nilai ajaran didalamnya. Dalam hal ini, setiap agama mewajibkan umat-umatnya untuk merawat bumi sebagai bagian dari iman dan ketaatan kepada Tuhan. Ini lah yang menjadi modal bahwa agama turut andil dalam mengedukasi pemeluk-pemeluknya untuk bergaya hidup eco-friendly melalui dakwah lingkungan. Apalagi, dalam kondisi krisis lingkungan saat ini, peran rumah ibadah tak lagi hanya sekedar tempat menyembah Tuhan semata, melainkan menjadi bagian nyata dari upaya mitigasi perubahan iklim.
Pemanfaatan energi melalui sumber-sumber terbarukan, seperti contohnya matahari, angin, air, panas bumi, masih terkalahkan oleh energi fosil. Hal ini dikarenakan orientasi kepentingan umat manusia masih terpusat pada ekonomi jangka pendek daripada ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini pun juga mengantarkan umat manusia pada penghayatan beragama yang masih dangkal. Hanya berputar dalam keagamaan ritual. Tidak kontemplatif mendalam sebagai pegangan moral, terutama terkait dengan perubahan iklim.
Krisis lingkungan adalah krisis moral. Alih-alih menjaga alam, manusia justru memandang alam hanya sebagai objek yang terus-menerus dikeruk isinya demi kepentingan ekonomi jangka pendek tadi. Sumber daya alam penting yang tak terbarukan, seperti minyak bumi, gas, dan batu bara, semakin cepat terkuras. Kelangkaan sumber daya energi merupakan ancaman bagi eksistensi kehidupan manusia di masa mendatang. Tidak ada satu pun manusia yang bisa bertahan hidup tanpa energi. Oleh karena itu, konservasi dan pelestarian sumber daya sebagai penunjang hidup harus menjadi prioritas dengan mengubah perilaku ramah lingkungan yang direalisasikan dalam tindakan nyata.
Syahdan, krisis moral perlu ditangani dengan pendekatan moral pula. Rumah ibadah tidak hanya semata-mata digunakan sebagai sarana ibadah ritual saja. Lebih dari itu, rumah-rumah ibadah sangat berpotensi menjadi sarana menanamkan nilai-nilai kebaikan dan pembaharuan kehidupan umat. Termasuk dalam hal menghindarkan bumi dari krisis iklim yang bisa mengancam kehidupan umat manusia di masa mendatang. Menyadarkan masyarakat terhadap krisis iklim perlu disampaikan dengan bahasa agama yang menyentuh hati.
Dalam ajaran agama Islam, seorang manusia memiliki dua tugas, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia itu kecil dan tak memiliki kekuasaan. Dengan demikian, tugasnya hanya menyembah dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar menjaga bumi ciptaan-Nya. Tidak merusak dan selalu mengupayakan hal-hal yang mampu melestarikan bumi.
Sebagai contoh, memakmurkan masjid tidak hanya dengan ceramah, tapi perlu aksi nyata untuk membangun kemandirian umat dalam menghadapi ancaman seperti kelangkaan air dan energi. Manifestasinya bisa dengan mengarahkan orientasi pengelolaan masjid menjadi mandiri dan berkelanjutan pada aspek idarah (manajemen), imarah (kegiatan memakmurkan), dan riayah (pemeliharaan dan pengadaan fasilitas). Dalam pandangan penulis, inisiatif memasang solar panel yang banyak dilakukan masjid-masjid di Indonesia belakangan ini merupakan pengejawantahan dari konsep rumah ibadah ideal yang menyelaraskan iman dan lingkungan.
Dalam kaitannya terhadap sumber energi fosil yang sebenarnya hukumnya boleh-boleh saja, namun menjadi makruh dan bahkan haram ketika penggunaan serta pemakaiannya berlebihan dan mengakibatkan habisnya cadangan bahan bakar fosil yang ada di bumi disertai kerusakan lingkungan. Hal ini harus diantisipasi agar tidak menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan bagi generasi berikutnya.
Di Malang, Masjid K.H Ahmad Dahlan menjadi masjid satu-satunya yang memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau solar panel untuk kegiatan operasional, seperti tempat wudhu, adzan, Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Begitu pun di Jakarta, atap masjid Istiqlal terpasang 504 pcs modul solar yang menghasilkan listrik 150 kilowatt-peak dari tenaga matahari. Kapasitas sebesar itu hanya mampu mengcover 16% dari total kebutuhan. Sehingga, ini mendorong pengurus masjid membuka program wakaf energi. Yakni mengajak para jama’ah untuk ikut berkontribusi menambah kapasitas panel surya di masjid Istiqlal, misalnya melalui cara infaq dan sedekah. Kini, bukan masanya lagi berlomba-lomba meninggikan menara masjid. Namun, berlomba-lomba memastikan masjidnya 100% beralih ke energi terbarukan. Demi menjaga bumi Allah dari krisis iklim.

Tak hanya dalam ajaran Islam, saat ini gereja-gereja Katolik juga didorong kontribusinya dalam melestarikan keutuhan ciptaan Tuhan. Gereja Katedral Jakarta menjadi sorotan berkat panel surya yang mengcover seluruh kebutuhan listriknya. Jauh di ujung Kalimantan Timur, tepatnya Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi letak Ibu Kota Negara (IKN) baru, Biara CB Providentia Dei juga memasang solar panel dalam rangka menyikapi krisis iklim. Energi matahari yang dihasilkan solar panel tersebut digunakan untuk peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), utamanya pendidikan dan kesehatan, bagi masyarakat Penajam Paser Utara dan sekitarnya.

Tindakan nyata ini menjadi dasar untuk peningkatan pengetahuan serta keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup, khususnya menyikapi perubahan iklim. Pada akhirnya, pengurus rumah ibadah dan jamaah masing-masing memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang merupakan contoh nyata yang bisa ditiru oleh masyarakat sekitar rumah ibadah itu sendiri.
*) Seluruh isi artikel ini diikutsertakan pada Lomba Esai Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta “Kisah Inspiratif Dari Rumah Ibadah”.